Zakat merupakan salah satu kewajiban bagi umat muslim yang harus dipenuhi setiap tahunnya. Namun, bagaimana jika ada orang yang merasa bahwa dirinya tak mampu memenuhi kewajiban tersebut karena alasan-alasan tertentu? Maka, muncul istilah yang kerap menjadi perdebatan yaitu "yang termaksud mustahil zakat". Apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut?
Apa itu Zakat?
Sebelum membahas lebih jauh mengenai yang termaksud mustahil zakat, mari kita pahami terlebih dahulu apa itu zakat. Zakat adalah salah satu rukun Islam yang menjadi kewajiban bagi setiap muslim yang mampu. Zakat merupakan bentuk sumbangan harta yang diberikan untuk kepentingan umat Islam yang membutuhkan.
Harta yang dikenai zakat bisa berupa uang tunai, emas, perak, barang tertentu seperti ternak, dan lain sebagainya. Besaran zakat yang harus dikeluarkan adalah 2,5% dari harta yang dimiliki selama satu tahun.
Yang Termaksud Mustahil Zakat
Kini, kita kembali pada istilah yang termaksud mustahil zakat. Istilah tersebut merujuk pada seseorang yang merasa tidak mampu atau tidak memiliki cukup harta untuk membayar zakat. Dalam hal ini, seseorang dapat dinyatakan mustahil zakat apabila ia memenuhi salah satu dari tiga kriteria berikut:
- Kekurangan harta. Yaitu seseorang yang memiliki harta di bawah nisab (batas minimal harta yang wajib dikeluarkan zakat) namun tidak mencukupi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, dan papan.
- Harta yang dimilikinya semuanya berupa hutang. Namun, hutang tersebut haruslah diambil untuk kebutuhan yang sifatnya darurat dan bukan untuk kebutuhan konsumtif semata.
- Seseorang tersebut menjadi orang yang tergolong miskin sedangkan harta yang dimilikinya tidak mencapai nisab.
Keadaan Apa Saja yang Termasuk Mustahil Zakat?
Meskipun sudah diketahui kriteria yang memenuhi status mustahil zakat, masih banyak orang yang abu-abu atau kurang paham mengenai keadaan apa saja yang termasuk dalam kriteria tersebut. Berikut ini beberapa keadaan yang termasuk dalam kriteria mustahil zakat:
1. Pengeluaran Rutin
Pengeluaran rutin misalnya pengeluaran untuk membayar sewa rumah, biaya pendidikan anak, tagihan listrik dan air, biaya kesehatan, dan pengeluaran rutin lainnya. Namun, pengeluaran ini harus sesuai dengan kebutuhan dan seimbang dengan penghasilan.
2. Bukan Termasuk dalam Golongan Mustahiq
Golongan mustahiq adalah orang yang berhak menerima zakat. Seperti orang miskin, janda, anak yatim, dan lain-lain. Orang yang tidak termasuk dalam golongan mustahiq tidak wajib membayar zakat.
3. Tidak Mencapai Nisab
Nisab yaitu batas minimal harta yang wajib dikeluarkan zakat. Jika harta hanya sedikit dan tidak mencapai nisab, maka tidak wajib membayar zakat.
4. Tidak Mampu Membayar Hutang
Jika seseorang memiliki hutang dengan jumlah yang besar dan mengganggu kestabilan kehidupannya sehingga tidak mampu membayar zakat, maka statusnya termasuk mustahil zakat.
Zakat pada Saat Pandemi Covid-19
Pandemi Covid-19 memang sangat berdampak pada kehidupan banyak orang. Ada yang kehilangan pekerjaan, usaha gulung tikar, hingga penghasilan menurun drastis. Hal ini tentu berdampak pada kewajiban zakat yang harus dipenuhi oleh setiap muslim yang mampu.
Namun, di tengah pandemi ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa yang menegaskan bahwa orang-orang yang kehilangan penghasilan karena adanya pandemi ini masih diperbolehkan menjadi mustahil zakat. Selama keadaan sulit tersebut berlangsung, maka mereka tetap tidak diwajibkan membayar zakat.
Kesimpulan
Yang termaksud mustahil zakat merujuk pada seseorang yang tidak memiliki cukup harta untuk membayar zakat. Kriteria yang memenuhi status mustahil zakat meliputi keadaan tidak mencapai nisab, seseorang yang menjadi orang yang tergolong miskin sedangkan harta yang dimilikinya tidak mencapai nisab, dan harta yang dimilikinya semuanya berupa hutang untuk kebutuhan yang sifatnya darurat.
Namun, kriteria yang telah ditetapkan tersebut masih jarang dipahami oleh sebagian umat Muslim. Oleh karena itu, penjelasan yang komprehensif mengenai yang termaksud mustahil zakat perlu disosialisasikan agar masyarakat dapat memahami dengan jelas dan tepat. Dengan demikian, kewajiban zakat dapat dipenuhi dengan baik dan tepat sasaran tanpa menimbulkan perdebatan yang berkepanjangan.